Jumat, 29 November 2013

Hak Cipta

HAK CIPTA

·                   PENJELASAN SINGKAT HAK CIPTA
Hak cipta adalah suatu hak yang dimiliki oleh seseorang (pencipta) untuk mencegah orang lain mengakui, menyalin atau istilah lainnya adalah menjiplak karya yang telah diciptakannya. Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1). Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta
Perlindungan Hak Cipta dapat diberikan kepada suatu karya cipta di bidang ILMU PENGETAHUAN (SCIENCE), SENI (ART) maupun SASTRA (LITERARY) yang telah memiliki bentuk FIKSASI yang tetap dan dapat menunjukkan ORISINALITAS dari pembuatnya. Perlindungan ini didapatkan secara otomatis begitu karya tersebut telah diumumkan pertama kali oleh Penciptaanya. Namun demikian untuk kepentingan pembuktian, suatu ciptaan yang telah ada fiksasinya dapat pula didaftarkan melalui Kantor Hak Cipta cq Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
Secara umum jenis karya cipta yang bisa dilindungi adalah:
1.      Literary Works, yakni karya cipta yang berbentuk tulisan seperti buku, pamflet, ceramah, kuliah, pidato, peta, terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database dan segala bentuk pengalihwujudannya.
2.      Musical Works, yakni karya cipta berbentuk musik atau lagu (bunyi) dengan atau tanpa teks.
3.      Graphical Works, yakni karya cipta berbentuk gambar-gambar, karya arsitektur, peta, layout karya tulis yang diterbitkan, seni lukis, seni gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni logo, seni batik dan berbagai bentuk seni terapan lainnya.
4.      Three Dimensional Works, yakni karya cipta yang berbentuk tiga dimensi, seperti patung, kolase, alat peraga untuk pendidikan dan ilmu pengetahuan atau sejenisnya.
5.      Computer Programme, yakni karya cipta berbentuk program komputer (binary code).
6.      Compilation Works (gabungan karya), misalkan sinematografi, karya drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, pantomim yang terdiri dari tulisan, musik maupun gambar.
Pemegang Hak Cipta untuk jenis karya di atas adalah PENCIPTA ASLI - bisa individu maupun gabungan individu, atau PENERIMA HAK dari PENCIPTA berdasarkan pengalihan hak, baik dengan cara pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian jual beli maupun pemberian lisensi.
Selain daripada itu ada beberapa jenis Hak Cipta yang tidak diketahui Penciptanya karena ciptaan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang dalam suatu pergaulan masyarakat tertentu, seperti: peninggalan bersejarah, sejarah, benda budaya nasional, folklore, cerita rakyat, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi dan berbagai karya seni lainnya, maka pemegang Hak Cipta tersebut adalah NEGARA.
Apabila suatu ciptaan telah ada FIKSASI dan si Pencipta dapat menunjukkan ORISINALITAS dari karya tersebut, maka dikatakan telah lahir suatu Hak Cipta bagi Pemegangnya. Hak-hak yang melekat pada Pemegang Hak Cipta adalah:
1.      Hak Mengumumkan (Right to publish), antara lain: pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan media atau alat apapun, termasuk internet atau setidak-tidaknya melakukan suatu perbuatan agar ciptaan tersebut dapat dibaca, dilihat atau didengar oleh orang lain.
2.      Hak Memperbanyak (Right to copy), yakni suatu perbuatan untuk menambah jumlah yang secara substansial sama atau identik dengan karya asli pertama kali yang diciptakan.
Selain daripada itu terkait dengan pelaksanaan Hak Cipta, si Pencipta juga memiliki Hak Ekonomi dan Hak Moral. Hak ekonomi dari Pencipta adalah menerima royalti atau manfaat sejenis lainnya dari hasil eksploitasi Ciptaan baik oleh dirinya sendiri, maupun pihak ketiga atas persetujuannya. Sedangkan Hak Moral adalah hak untuk selalu dicantumkan identitas Pencipta dalam setiap pengumuman atau perbanyakannya, dan hak untuk melarang pihak lain untuk mengubah bentuk asli (Fiksasi) tanpa izin. Hak Moral ini berlaku tanpa batas waktu atau selama berlakunya ciptaan tersebut untuk beberapa jenis ciptaan tertentu.

Hak Terkait (Related Rights) dalam Hak Cipta adalah hak eksklusif yang dimiliki oleh:
1.      Pelaku - aktor, penyanyi, musisi, penari dan orang yang melakukan pertunjukan berkaitan dengan karya-karya seni dan sastra-, yakni: hak untuk memberikan izin atau melarang pihak lain tanpa persetujuannya untuk membuat, memperbanyak, mendistribusikan, menyewakan, menyediakan atau menyiarkan rekaman suara atau gambar pertunjukannya.
2.      Produser Rekaman Suara, yakni: hak untuk memberikan izin atau melarang pihak lain tanpa persetujuannya untuk memperbanyak, mendistribusikan, menyediakan atau menyewakan karya rekaman suara atau bunyi.
3.      Lembaga Penyiaran, yakni hak untuk memberikan izin atau melarang pihak lain tanpa persetujuannya untuk membuat, memperbanyak, menyiarkan (broadcast), atau menyiarkan ulang (re-run) karya siarannya melalui transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem elektromagnetik lainnya.
Secara umum jangka waktu perlindungan Hak Cipta adalah seumur hidup Pencipta atau apabila lebih dari satu Pencipta, maka jangka waktu tersebut dihitung hingga umur Pencipta terakhir yang namanya tercantum dalam Ciptaan ditambah dengan 50 tahun. Selain itu ada beberapa Hak Cipta yang memiliki jangka waktu perlindungan yang spesifik, antara lain:
1.      Selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan, untuk ciptaan berupa Program Komputer, sinematografi, fotografi, database dan hasil karya pengalihwujudan.
2.      Selama 50 tahun sejak pertama kali diterbitkan, untuk layout karya tulis.
3.      Selama 50 tahun sejak ciptaan diketahui umum, untuk ciptaan yang tidak diketahui pencipta atau penerbitnya.
4.      Tanpa Batas Waktu, untuk ciptaan folklore (ekspresi budaya tradisional) yang Hak Ciptanya dipegang dan dilaksanakan oleh Negara.
5.      Selama 50 tahun sejak pertama kali dipertunjukkan, untuk Pelaku Hak Terkait.
6.      Selama 50 tahun sejak pertama kali direkam, untuk Produser Rekaman Suara.
7.      Selama 20 tahun sejak pertama kali disiarkan, untuk Lembaga Penyiaran
Dalam Undang-Undang Hak Cipta, ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup hal-hal berikut.
1.      Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain.
2.      Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu.
3.      Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
4.      Lagu atau musik dengan atau tanpa teks.
5.      Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime.
6.      Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan.
7.      Arsitektur.
8.      Peta.
9.      Seni batik.
10.  Fotografi.
11.  Sinematografi.
Catatan : Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Sumber : http://hakintelektual.com/hak-cipta/ciptaan-apa-saja-yang-dilindungi/

·         JENIS-JENIS PELANGGARAN HAK CIPTA DAN CARA MENANGGULANGI PELANGGARAN HAK CIPTA
Adapun beberapa jenis pelanggaran hak cipta antara lain:
1.      Membajak
2.      Mengkopi / menyalin ciptaan hak cipta
3.      mengadaptasi ciptaan orang lain untuk dibuat hak cipta baru
4.      dll
Adapun beberapa cara untuk menangulangi  pelanggaran hak cipta:
1.      dibuatnya undang oleh pemerintah tentang hak cipta
2.      dibentuknya Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HKI oleh pemerintah yang pada pokoknya bertugas merumuskan kebijakan nasional penanggulangan pelanggaran HKI, menetapkan langkah-langkah nasional dalam menanggulangi pelanggaran HKI, serta melakukan koordinasi sosialisasi dan pendidikan di bidang HKI guna penanggulangan pelanggaran HKI.
3.      dll

·         HAK CIPTA KARYA SATRA
Karya sastra tidak dapat dipandang sebelah mata. Dari karya sastra kita mendapatkan pembelajaran. Menengok pada sejarah, ternyata dari lingkup karya sastralah konsep hak cipta muncul. Dimulai sejak 2500 tahun yang lalu yakni, pada zaman Yunani Kuno dimana diciptakan tanda baca dan tulis yaitu ’titik dan koma’ oleh Pehriad. Namun oleh pemerintah Yunani ternyata kurang mendapat tanggapan. Justru di pemerintahan Roma, Pehriad, melalui perjuangan anaknya, Appulus, mendapatkan pengakuan sekaligus penghargaan berupa honorarium atas penggunaan ’titik’. Penggunaan tanda baca ’koma’ diserahkan bagi pemerintahan Roma. Dapat dibayangkan betapa repotnya kita apabila tidak pernah diciptakan kedua tanda baca ini. Suatu karya tulis tidak akan memiliki lagu ataupun keindahan.
Apa yang dilindungi sebagai suatu ciptaan sebagaimana yang dikonsepkan oleh Undang-Undang Hak Cipta dimanapun juga di seluruh dunia, adalah: ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Karya sastra diartikan sebagai suatu karya tulis. Pertanyaan berikutnya adalah karya tulis yang seperti apa?
Sampai sejauh ini, cukup sulit untuk mendefinisikan apa yang diartikan sebagai karya sastra. Aristoteles mungkin mengartikan karya sastra sebagai hasil karya orang-orang yang mampu mewujudkan ide yang ada dalam pikirannya disesuaikan dengan realita masyarakat. Maka, hasil akhirnya suatu karya sastra lebih cenderung sebagai pengejawantahan kehidupan seorang pengarang dengan imajinasi-imajinasinya sebagai individu maupun dalam kehidupannya sebagai suatu masyarakat. Tidak heran karya sastra bersifat sangat ekspresif, kritis bahkan ada yang vulgar. Sering saya dibuat terkagum-kagum pada saat membaca suatu karya sastra dimana seorang pengarang begitu mahir menyatukan kata-kata asli ataupun kiasan yang oleh orang awam seperti saya harus dibaca berulang-ulang, dan pada saat saya akhirnya mengerti maknanya, mampu membuat saya tersenyum.
Uniknya lagi suatu karya sastra, terkadang hampir sama dengan lukisan abstrak. Pembaca dapat menginterpretasikan karya sastra jauh melebihi maksud pengarang ataupun bahkan berbeda sama sekali dengan maksud si pengarang. Interpretasi ini tentunya juga tergantung dari latar belakang si pembaca yang berbeda-beda. Disinilah mungkin yang diartikan sebagai kematian pengarang, karena pada saat pembaca membaca suatu karya sastra, si pengarang akan ditiadakan. Pembaca akan sibuk sendiri dengan pengartian-pengartian mereka atas karya sastra tersebut.
            Apa yang membedakan karya sastra dengan karya tulis biasa? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan bahwa karya sastra adalah karya tulis yang menggunakan bukan bahasa sehari-hari, memiliki keaslian dan keartistikan dalam bahasa dan pengungkapannya. Bahkan Dr. Abdullah Dahana mengatakan bahwa arti sastra sendiri adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan. Menurutnya sejauh ini definisi sastra terlalu dipersempit hanya dalam arti sastra saja.
            Definisi karya sastrapun menjadi tugas untuk dijawab oleh kalangan pemerhati karya sastra. Apalagi melihat peraih nobel sastra ada yang berasal dari kalangan yang justru bukan sastrawan. Misalnya saja Clifford Geertz yang menulis tentang sabung ayam di Bali. Karyanya mengangkat fenomena masyarakat di Bali, menceritakan latar belakang dari kegiatan sabung ayam, makna-makna yang terkandung dari kegiatan-kegiatan tersebut. Dengan demikian apakah definisi dari suatu karya sastra masih meliputi bahasa yang harus indah? Mungkin lebih tepat apabila sastra diartikan sebagai budaya. Tinggal pembatasannya yang harus diperjelas.
            Apapun definisi karya sastra, hak cipta tetap memberikan perlindungan. Namun karena banyaknya penegak hukum yang awam akan karya sastra, sudah seharusnya para sastrawan mulai aware, setidaknya untuk mau melindungi hak ciptanya.
            Di Indonesia, kasus hak cipta yang cukup marak masih bersifat pembajakan buku, belum sampai ke tahap pelanggaran hak cipta pada kutipan, pembacaan oleh pihak yang tidak ber hak. Berbeda dengan di Eropa, seperti yang dialami oleh Taufiq Ismail. Stasiun radio Denmark memberikan royalti kepada Taufiq karena sajaknya dibacakan oleh radio tersebut. Disinilah uniknya, perbedaan negara tidak menghalangi seseorang yang beritikad baik untuk membayar royalti atas karya cipta orang lain yang telah dimanfaatkannya, walaupun kecil kemungkinannya si Pencipta tahu kalau karyanya telah dieksploitasi. Hal seperti ini patut dicontoh oleh para pengguna karya cipta orang lain.
            Sastrawan disini juga harus lebih hati-hati terutama dengan kemajuan tehnologi. Misalnya saja adanya mesin pencari Google yang akan meluncurkan portal yang didedikasikan untuk dunia sastra. Mesin ini akan mempromosikan semua bentuk karya sastra secara online. Tentunya kecanggihan jaman memiliki nilai positif dan negatif. Positif untuk seseorang dapat lebih mudah mempublikasikan karyanya, negatif, apabila suatu karya cipta dimanfaatkan oleh orang lain tanpa memberikan imbalan yang layak bagi penciptanya. Apalagi kondisi ini sudah dimudahkan dengan adanya sistem online.
            Walaupun undang-undang hak cipta merupakan delik biasa dan bukan merupakan delik aduan, namun tanpa bantuan para pencipta yakni sastrawan disini pastinya sangat sulit untuk menegakkan hukum hak cipta atas karya sastra.
            Pemerintah telah membuat undang-undang hak cipta yaitu dengan maksud memberikan penghargaan bagi pencipta berupa hak moral dan hak ekonomi. Apabila hak-hak ini hanya sekedar penghias saja tentunya sangat disayangkan. Para sastrawan harus memperjuangkan hak mereka. Dengan memperjuangkan hak moral, sastrawan akan dihormati namanya, dan dengan hak ekonomi, sastrawan akan digantikan jerih payahnya.
            Tidak pernah ada istilah terlambat, budaya bangga ditiru tentunya harus sudah diganti. Bangga dengan adanya acknowledgement tentunya akan lebih indah. Indah seperti karya-karya sastra yang telah diciptakannya. Sumber : http://tamanpendidikandimasar.blogspot.com/2011/04/perlindungan-hukum-hak-cipta-atas-karya.html